Awal Juni 2022, rombongan kami tiba lebih dulu di penginapan sekaligus rumah makan Umami di Desa Lawua, Kecamatan Kulawi Selatan di Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Sudah hampir jam delapan malam. Empat jam lebih perjalanan kami dari Palu, menempuh hampir 100 kilometer dalam suasana gerimis, melewati jalanan mulus hingga berlubang, yang bahkan sebagiannya tertutup longsor dan hampir ambrol.
Di pelataran rumah makan, kami duduk-duduk sembari memesan kopi dan aneka gorengan, menunggu rombongan lain tiba. Enak luar biasa, karena lapar. Di bagian dalam, di ruang makan utama yang luas, makan malam kami sebenarnya sudah menunggu kedinginan, tidak terjamah.
Tak berapa lama, kawan-kawan kami para fasilitator desa di Klaster Kulawi Selatan mulai bermunculan. Mereka sudah beberapa hari di sini, mempersiapkan kunjungan rombongan besar kami dari Bogor dan Palu. Kunjungan dalam rangka kegiatan rutin monitoring internal dari Forest Programme III Sulawesi, proyek yang telah berlangsung sejak 2017 silam.
Forest Programme III Sulawesi atau FP III, merupakan proyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Jerman, didanai oleh KfW atau Bank Pembangunan, yang bertujuan untuk mengembangkan strategi dan implementasi terhadap tindakan-tindakan terkait konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai serta strategi mitigasi perubahan iklim di Sulawesi Tengah. Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi Kementerian LHK menjadi Project Executing Agency-nya.
Mario, koordinator para fasilitator desa di klaster ini segera bergabung ngopi. Rekan-rekan lainnya, Ridwan, Ishak, dan Micha pun segera bergabung. Mulailah cerita tak beraturan terjadi. Sebagian curhat tentang pekerjaan, tentang desa-desa dampingan program yang agak lambat dalam penyelesaian target kegiatan, dan sebagainya. Sebagian lagi mengomel karena tahu goreng sudah habis, padahal rombongan lain belum juga tiba.
“Mana Berwin?”, tanya saya, mengabsen salah satu fasdes yang tidak hadir malam itu.
“Masih di Moa Pak,” terang Mario merujuk pada salah satu nama desa di klaster ini, dari delapan desa yang mereka tangani di klaster ini.
Saya sendiri memang pernah ke Moa, Oktober 2021 silam, berjumpa dengan Berwin di sana. Moa, merupakan desa paling selatan di klaster ini, hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor atau ojek selama sekitar dua jam perjalanan dari Desa Gimpu, pusat kecamatan. Klaster Kulawi Selatan merupakan satu dari enam klaster yang ditangani dalam kegiatan FP III Sulawesi. Beberapa program dilaksanakan di klaster ini, seperti pengembangan agroforestry, Kesepakatan Konservasi Masyarakat beserta Dana Konservasi Desa-nya, pengembangan kelompok perempuan dan Perhutanan Sosial, pembangunan dam-dam penahan, dan sebagainya.
Pagi yang cerah di akhir November 2021 di Desa Tuare, Kecamatan Lore Barat Sulawesi Tengah. Saya, Bernd, Aan, dan beberapa rekan lain berdiri mematung di depan para tua adat desa, di tengah balai desa. Kami berpakaian kaos lusuh celana ngatung, sementara para tua adat berpakaian adat lengkap merah menyala. Parang dengan gagang tanduk berukir indah terselip di pinggang kiri mereka. Kami berhadapan satu lawan satu dengan mereka.
Kami mau tidak mau harus berhadapan dengan situasi ini, karena kami ‘dianggap’ para pendatang ke desa ini. Di tangan kanan para tetua adat, terpegang erat sekeranjang kecil beras yang di atasnya tertahta lima butir telur bebek. Sementara di tangan kiri mereka mendekap masing-masing satu ekor ayam kampung.
Dengan menggunakan bahasa lokal yang sesungguhnya tidak kami mengerti, salah seorang dari mereka berucap sesuatu. Setelahnya, kami diminta untuk memegang keranjang dan ayam tadi, kemudian memakan sejumput beras yang ada di hadapan kami tersebut.
“Ritual tadi kami sebut metinuwu’i, yaitu semacam ritual keselamatan bagi para tamu atau pendatang dari Bada,” ujar Daemas Mendai, salah satu tetua adat yang terlihat paling tua, menjelaskan kepada saya ketika acara adat tadi telah selesai.
Tak berapa lama kami keluar balai desa. Motor-motor telah menunggu kami, menderu-deru. Sementara di jalan utama desa, telah ramai motor beriringan ke arah barat, menuju lokasi Tambaga, tempat acara mo’hangu akan dilaksanakan satu jam lagi. Kami segera naik ke motor yang telah disediakan dan melaju ke lokasi acara, sekitar tiga kilometer dari pusat desa ini.
Mo’hangu atau terjemahan bebasnya adalah panen ikan, merupakah tradisi khas di Lembah Bada ini, yang juga merupakan salah satu klaster area pelaksanaan kegiatan FP III Sulawesi. Lembaga Pengelola Konservasi Desa (LPKD) yang difasilitasi pembentukannya oleh Balai Besar TN Lore Lindu (BBTNLL), menginisiasi kegiatan ini dalam program mereka yang diusulkan melalui skema Dana Konservasi Desa (DKD).
Pengelolaan DKD sendiri difasilitasi oleh Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Sulawesi, salah satu Project Implementing Unit (PIU) dalam FP III, disamping dua PIU lain, yaitu BBTNLL dan Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Palu Poso.
Desa Tuare merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TN Lore Lindu. Salah satu kawasan konservasi darat terpenting di Sulawesi, yang menjadi rumah terbaik bagi puluhan jenis satwa dan tumbuhan endemik Sulawesi, seperti anoa, babirusa, tarsius, maleo, dan sebagainya.
Dalam lingkup besar, FP III bekerja pada lanskap Lore Lindu, yang merupakan bagian dari Cagar Biosfer Lore Lindu. Cagar Biosfer ini telah ditetapkan sejak 1977 oleh UNESCO, dan TNLL merupakan zona intinya. Cagar biosfer merupakan kawasan yang dikelola dengan tujuan mengharmonikan antara kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi yang berkelanjutan.
Pak Bernd berdiri di tengah jembatan kayu sederhana yang menghubungkan pinggir kolam dan sabua kecil di tengah kolam. Setelah sambutan singkat, aba-aba berkumandang, kemudian ratusan peserta mo’hangu menyerbu sampai ke tengah kolam, menghunjamkan hangu mereka yang beberbentuk seperti kurungan ayam, berharap ikan terjebak di dalamnya.
Aan, kawan saya sang koordinator para fasdes di Klaster Bada ini asik sibuk mendokumentasikan momen tersebut. Sementara kawan fasdes lainnya, yaitu Ithong, Yos, dan Sunar masih asik makan ubi dan pisang rebus di sabua tengah kolam tadi. Sejak awal 2022, Sunar digantikan oleh Gilno sebagai fasdes di klaster ini.
Terdapat enam desa yang harus mereka dampingi dalam berbagai kegiatan FP III di klaster ini, semua dalam satu kecamatan di Lore Barat, Kabupaten Poso. Berbagai kegiatan FP III diselenggarakan, seperti agroforestry, KKM dan DKDnya, penanaman batas hidup taman nasional, Perhutanan Sosial, pengembangan kelompok perempuan, dan sebagainya. Tentu saja, fasdes dan para mitra FP III beserta resort-resort BBTNLL menjadi ujung tombak pelaksanaan berbagai program ini di tingkat tapak.
Klaster Bada merupakan klaster paling selatan dalam kegiatan FP III. Normalnya, kita dapat mencapai area ini setelah menempuh perjalanan hampir 10 jam dari Kota Palu, sepanjang 300 kilometer lebih, melalui kota Poso dan Tentena.
Namun demikian, menuju atau pergi lembah ini, bisa juga ditempuh dengan jalur ‘tidak normal’. Dari Tuare, teman-teman fasdes biasa menyusuri jalan setapak ke arah barat laut dengan sepeda motor, sekitar 20an kilometer menuju Desa Moa di Klaster Kulawi Selatan. Setelah itu, mereka terus melaju ke utara sampai di Palu.
Klaster Bada sebenarnya hanya berjarak sekitar 40an kilometer dari klaster Napu di sebelah timur laut, sebuah lembah dataran tinggi juga, yang berada di sisi timur kawasan TN Lore Lindu. Namun saat ini, belum terdapat jalan yang dapat ditempuh langsung dengan kendaraan mobil maupun motor antar dua lembah indah ini.
Untuk mencapai daerah ini, dari Palu kita harus menepuh jalan 100 kilometer lebih, yang hampir semuanya mulus, untuk sampai ke Desa Wuasa, pusat Kecamatan Lore Utara, masih di Kabupaten Poso. Di Klaster Napu inilah, sembilan desa didampingi oleh lima orang fasdes FP III.
Pada awal 2021 lalu, saya dan Sholehuddin dari BPDAS Palu Poso, didampingi Lanus, Sisi, dan Ida, kawan kami para fasdes, mengunjungi salah satu kebun milik Pak Ilham, yang dikelola dengan menerapkan sistem agroforestry. Kegiatan ini merupakan sebagian kegiatan FP III yang difasilitasi oleh BPDAS Palu Poso di klaster ini.
Sejak 2019, Pak Ilham mulai membersihkan kebunnya yang semula alang-alang, sama seperti umumnya area lain di Desa Watutau, tempat beliau tinggal. Keanggotaannya dalam kelompok agroforestry FP III membuat dia mencoba untuk menerapkannya pengelolaan kebun dengan prinsip ini. “Tidak banyak yang yakin waktu ini, seperti apa sebenarnya agroforestry ini”, terang pak Ilham. “Tapi saya tetap menjalankan arahan yang diberikan”.
Kini lebih dari seratus pohon leda dan kemiri telah berdiri cukup besar. Dua atau tiga tahun lagi, kemiri Pak Ilham mulai menghasilkan buah. “Leda mungkin umur delapan sampai 10 tahun sudah bisa ditebang dan menghasilkan kayu. Kalau terlalu tua dan besar, pohon ini malah akan berlubang di tengahnya” jelas Pak Ilham.
Kegiatan agroforestry memang menjadi andalah di klaster ini. Dengan tanahnya yang subur, kesejukan iklimnya dengan ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut, menjadikan lembah ini sangat cocok untuk pertanian. Tanaman kopi dan coklat, dipadu dengan jenis kayu-kayuan seperti leda dan lekatu, menjadi andalan sistem agroforestry yang diterapkan di banyak tempat dalam program ini.
Sama seperti klaster lainnya, berbagai kegiatan juga dilaksanakan di klaster Napu ini. Satu kegiatan lain adalah Rehabilitasi Hutan Lindung, yang juga di fasilitasi BPDAS Palu Poso, terletak di Desa Alitupu. Area seluas 50 hektar ditargetkan dalam kegiatan rehabilitasi ini.
Lima orang fasdes berkolaborasi hebat di klaster ini. Selain tiga fasdes yang mengantar saya tadi, ada juga Nanchy dan Akang sebagai fasdes. Walaupun bukan penduduk asli Napu, kedua fasdes ini rela berhari-hari, ngekos, tinggal di area kerja mereka untuk mendampingi puluhan kelompok yang ada di klaster ini.
Urib adalah koordinator para fasdes di klaster ini. Pengalamannya yang luar biasa menyebabkan dia diminta bertanggung jawab untuk menjadi koordinator dari para fasdes dalam mendampingi kegiatan-kegiatan FP III di klaster Napu dan Palolo, dua klaster paling padat desa dan kegiatan.
Klaster Palolo hanya berjarak sekitar 60 kilometer dari Desa Wuasa di Napu. Jika ke Napu, kita akan melewati klaster Palolo terlebih dahulu. Kegiatan FP III bergerak di 10 desa dalam klaster ini, meliputi tiga kecamatan, yaitu Sigi Kota, Palolo, dan Nokilalaki. Semuanya di Kabupaten Sigi.
Selepas kegiatan evaluasi Rencana Kerja Tahunan dan perencanaan bersama kegiatan LPKD di Klaster Palolo, Juli 2022 lalu, Akram Rifa’ah, Pejabat Pembuat Komitmen FP III dari BPSKL Sulawesi mengumpulkan seluruh fasdes di klaster ini. Kami semua duduk berkumpul di balai desa.
Wandi, Yuni, Taslim, Jamila, Randy, dan jugaUrib, duduk melingkar bersama kami. Merekalah kawan kami para fasdes di klaster ini. Grup tangguh lima sekawan ini harus mendampingi berbagai kegiatan FP III di 10 desa, klaster terpadat. Dalam pertemuan kecil tersebut, Akram dan tim BPSKL menegaskan, masih terdapat beberapa laporan kegiatan dari para LPKD di klaster ini yang kurang lengkap. Mau tidak mau, para fasdes ini diminta untuk kembali mengecek dan menghubungi para pengurus LPKD untuk bersama melengkapi laporan mereka.
Tepat di selatan Palolo, dari Desa Karunia, sebenarnya terdapat jalan setapak yang mengubungkan desa ini dengan Desa Anca di enclave Lindu, hanya sepuluhan kilometer. Saya sendiri belum pernah melalui jalur ini. Jantung TN Lore Lindu adalah Danau Lindu, karena tepat berada di tengah agak utara dari kawasan konservasi ini. Terdapat lima desa di sekeliling danau.
Untuk mencapai area ini, perjalanan dari Palu cukup berat. Aspal mulus licin dari Kota Palu berubah menjadi penuh lubang dan jurang menganga ketika sampai di sekitaran Desa Salua, 60an kilometer dari Palu. Sampai di Dusun Sadaunta, biasanya kami rehat sejenak, sekadar meregangkan kaki atau minum kopi dan aneka camilan rakyat yang banyak tersebar di warung-warung kecil di dusun ini.
Perjalanan berikutnya memang cukup berat. Sekitar 15 kilometer akan ditempuh dari Sadaunta menuju Desa Tomado, tempat kantor Resort Lindu TNLL yang biasa kami tuju. Bukan cuma lubang kali ini, namun jalan berlumpur, berpasir kerikil, dan tikungan tajam nan licin, bahu membahu menciutkan hati para pendatang yang ingin ke Lindu.
Hamparan Danau Lindu yang membiru mulai terkuak terlihat di sisi kanan, ketika memasuki Desa Tomado, pusat Kecamatan Lindu di Kabupaten Sigi. Danau seluas hampir 3.500 hektar ini adalah danau kedua terluas di Sulawesi Tengah setelah Danau Poso. Para penduduk sekitar danau memanfaatkan danau ini salah satunya sebagai pusat budidaya ikan mujair, yang sesungguh ikan introduksi yang bersifat invasif dan membahayakan ikan lokal di sana.
Pada akhir Oktober 2021 lalu, kami semua berkumpul di guest house Resort Lindu, tepat di samping kantor resort, tak jauh dari tepi Danau Lindu. Tim dari BBTNLL telah lengkap, baik yang bertugas di kantor Palu mapun di kantor resort sini. Kawan-kawan fasdes kami pun telah berkumpul semua. Selain Mario yang juga menjadi koordinator di klaster ini, juga hadir lengkap Edo, Esra, Hadi, dan Azir.
“Kita akan bagi menjadi lima tim. Tiap tim minimal harus terdiri dari teman-teman resort dan fasdes. Kami yang dari Palu akan menyesuaikan ke setiap tim”, terang Wantoko, PPK kegiatan FP III dari Balai Besar TN Lore Lindu. Kali ini, kami akan melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan penanaman batas hidup di lima LPKD yang berada di lima desa seputaran Danau Lindu ini.
Dalam pengelolaan kegiatan FP III, enclave Lindu ini digabung dengan desa-desa di Kecamatan Kulawi, masih di Kabupaten Sigi, menjadi satu klaster. Total terdapat 10 desa di klaster ini, masing-masing lima desa di dua kecamatan tersebut, yang didampingi oleh keempat fasilitator tadi.
Di sisi barat desa-desa sub-klaster Kulawi ini, terbentang Sungai Palu yang mengalir deras sampai muaranya di Kota Palu. Jika dari Sadaunta, tempat jalur masuk ke enclave Lindu tadi, dengan berkendara mobil ke arah utara, kita akan akan sampai di Desa Simoro sekitar 20 kilometer. Dari sana kita dapat berbelok ke arah kiri kemudian menyemberangi jembatan yang membelah Sungai Palu. Dari sini, perjalanan ditempuh dengan kondisi jalan yang kurang baik sejauh sekitar tiga kilometer untuk sampai ke Desa Bangga.
Desa Bangga merupakan satu dari lima desa dalam Klaster Dolo Selatan, berbatasan langsung dengan Hutan Lindung di sisi barat, yang semuanya berada di Kecamatan Dolo Selatan Kabapaten Sigi. Kegiatan itensif untuk Rehabilitasi Hutan Lindung dan Agroforestry giat dilaksanakan oleh BPDAS Palu Poso dalam lingkup FP III di klaster ini. Sekarang, beberapa persetujuan Perhutanan Sosial juga telah dikeluarkan oleh Kementerian LHK untuk pengelolaan hutan-hutan lindung di klaster ini dalam bentuk Hutan Desa.
Juni 2021 lalu, menjelang siang, kami semua berdiri mendanga di sebuah bukit kecil, di sisi barat Desa Bulubete, salah satu desa di Dolo Selatan. Hamparan alang-alang lebih mendominasi mata kami daripada pepohonan. Di kaki bukit, anakan kemiri tampak tumbuh berjajar, tersembul di antara ilalang.
Tanpa menunggu lama, Winfried Suess, ketua tim audit khusus dari KfW, berjalan cepat ke atas bukit. Saya dan Aan, yang juga koordinator fasdes di klaster ini, menyusul terengah-tengah. Aan makin melaju, saya melambat, dada makin cepat terasa sesak. Kawan kami, Syahril, salah satu fasdes di klaster ini, menyusul di belakang. Sedangkan Eka dan Rendy rekan kami lainnya, sudah menghilang entah terhenti di sebelah mana.
Sepanjang jalan menuju puncak bukit, kami tidak hanya diterpa panas dan lelah. Sedih hati juga timbul melihat banyak tanaman anggota kelompok yang mati kekeringan. Sebagian ajir-ajir hidup dari batang gamal tanpak masih berdaun. Anakan pohon johar liar tumbuh acak secara alami, bertahan dari panas dan kering di bukit nan gersang ini.
Selain Syahril, terdapat dua fasdes lain yang mendampingi berbagai kegiatan di klaster ini. Umi yang selalu semangat menunjukkan keberhasilan pembangunan kebun-kebun bibit desa, serta Bonar yang selalu berbinar ketika berbicara pengembangan usaha pasca panen kopi dan coklat di Sulawesi Tengah.
Hari ini, tepat di akhir Agustus 2022, para fasdes FP III beserta koordinator fasdes berkumpul di Kantor BPDAS Palu Poso di Kota Palu. Kami berbincang serius tentang kemajuan program dan menggali segala tantangan dan hambatan dalam penyelesaian kegiatan, serta mencari solusi dari semua itu.
Dulu rekan saya pernah berkata, “Ketika kita memfasilitasi diskusi biasa, maka moderator akan bersusah payah mengajak dan membujuk peserta untuk dapat berbicara mengeluarkan pendapatnya. Namun jika kita menfasilitasi diskusi untuk para fasilitator, maka sang moderator akan bersusah payah menghentikan peserta untuk berhenti bicara”. Pernyataan ini memang benar adanya.
Mensukseskan seluruh kegiatan dalam Forest Programme III ini bukanlah perkara mudah. Kawan-kawan kami para fasdes ini adalah senjata andalan kami dalam melancarkan kegiatan di tingkat tapak. Banyak pembelajaran dan cerita menarik dari mereka, yang mungkin hanya Tuhan dan mereka sendiri yang tahu.
Setelah saling mendengar keluh kesah para fasdes hari ini, di akhir kegiatan kami semua sepakat. Banyak hal yang dapat menjadi cerita dan pembelajaran sepanjang hampir enam tahun FP III ini berjalan, dari tujuh tahun yang direncanakan. Para fasdes merupakan saksi mata seluruh kegiatan program ini yang tidak terputus. Harusnya, cerita maupun pembelajaran ini janganlah jadi kenangan semata. Untuk itu, akan ditulis dan dikumpulkanlah segala cerita dan pembelajaran dari para fasdes dan pihak-pihak lain dalam proyek ini. Ditulis sendiri oleh para fasilitator-fasilitator desa kami yang luar biasa. Kisah-kisah yang akan kami jadikan sebagai upaya memelihara ingatan dan kenangan, maupun pembelajaran dan pengetahuan, yang semoga dapat dijadikan sumber inspirasi dan kebaikan bagi pihak-pihak lain maupun kami sendiri. Cerita dari kawan-kawan kami di lapangan.
Kontributor
Hanom Bashari